Payung Teduh dan Sisa-sisa Keikhlasan yang Tak Diikhlaskan

Saya ingat betul waktu pertama kali saya mendengar lagu Payung Teduh. Silahkan bilang lebay, tapi saat itu saya benar-benar dibuat merinding sampai mbrebes mili.

Siang itu, saya sedang makan sambil belajar untuk ulangan mata kuliah Structure. Tahun 2012, saya sedang senang-senangnya mendengarkan radio. Jadi, sambil belajar, sambil makan, sambil mendengarkan radio. Saat itulah pertama kali saya mendengar lagu Angin Pujaan Hujan. Belum pernah saya dengar lagu dengan lirik tak biasa seperti itu, sulit dipahami tapi ajaibnya bisa terdengar sangat menyentuh. Lirik yang paling saya ingat waktu itu: "Di langit yang merah ranum seperti anggur". Awalnya, saya tidak tahu judulnya lagu ini, sampai-sampai saya kirim pesan ke penyiar untuk tanya judulnya.

Sejak saat itu, kegilaan saya pada Payung Teduh dimulai. Saya mulai cari lagu dan liriknya untuk dihafalkan. Setiap mendengarkan radio, lagu mereka lah yang selalu saya request. Padahal, sebenarnya saya bisa mendengarkan lewat pemutar musik di ponsel. Tapi, rasanya selalu lebih puas kalau mendengar lagu mereka diputar di radio. Dulu, Payung Teduh masih jarang manggung di daerah Solo dan Jogja. Jadi sekalinya ada gig, saya pasti usaha untuk menyempatkan nonton. Rela pakai acara nginep di hotel sampai hujan-hujan pulang dari konser. Pokoknya asal bisa ikut nyanyi lagu Angin Pujaan Hujan dan Untuk Perempuan Yang Sedang Dalam Pelukan, saya sudah senang nggak ketulungan. Saya nggak tahu banyak soal musik, saya hanya tahu lagunya enak, sesuai selera saya. Sudah, itu yang paling penting.

Payung Teduh (Solo, 1 November 2015) - @rifaluna
Waktu itu, penggemar Payung Teduh juga belum sebanyak sekarang. Bahkan, tak sedikit yang awalnya mengaku tak suka. Alasan utamanya, "Ah, lagunya bikin ngatuk." Tapi, buat saya, justru itulah yang membuat saya jatuh cinta. Sejak 2012, saya sudah nonton konser Payung Teduh kurang sekitar 8 kali, kalau tidak salah. Perasaannya selalu sama, saya tidak pernah bosan. Tapi, semakin sering saya menonton konser mereka, kebiasaan saya perlahan berubah. Belakangan, saya tidak suka nonton mereka dari dekat. Saya lebih suka melihat panggung dari kejauhan, cenderung di bagian barisan belakang. Saya ingin bisa melihat jelas seluruh penampilan dan panggung tempat mereka bernyanyi. Saya ingin menikmati musik mereka dengan tenang, tanpa berdesak-desakan.

Payung Teduh menjadi satu dari beberapa band indie yang benar-benar saya sukai, bahkan nama mereka saya tulis di lembar acknowledgement skripsi. Benar-benar musik penghilang lara kalo kata saya.

Tapi, kekecewaan saya pada Payung Teduh terjadi di tahun ini. Bukan, bukan karena Is memutuskan untuk keluar. Kekecewaan saya terjadi cukup lama sebelum hebohnya Is yang memutuskan selesai dengan PT. Kekecewaan saya sebenarnya berawal sejak dirilisnya album Live and Loud. Para penggemar lama Payung Teduh saya rasa juga kaget mendengar lagu-lagu yang ada di album ini. Lagu-lagu mereka melenceng dari warna dan karakter Payung Teduh. Saya kebetulan ikut pre-order album ini, menunggu beberapa bulan sebelum akhirnya benar-benar mendengarkan. Awalnya saya belaga sok suka, padahal dalam hati kecewa luar biasa. Mereka bukan lagi Payung Teduh yang saya kenal 5 tahun lalu. Saya mendengarkan album tersebut hanya 1 kali, kini CD-nya saya simpan di rak buku dan sudah berdebu. Saya kecewa.

Album Payung Teduh Live and Loud - @rifaluna
Sebenarnya, itu belum seberapa, lagu Akad jadi klimaksnya. Saya bisa dibilang cukup kesal. Saya heran dan bertanya-tanya, sebenarnya Payung Teduh ini kenapa? Cuma Akad, lagu yang bikin saya nggak pengen cepet-cepet hafal liriknya. Cuma Akad, lagu yang bikin saya sering teriak di kantor, 'Duh,lagu ini lagi, bosen!'. Cuma Akad, lagu yang terlalu menye-menye untuk Payung Teduh. Lagu Akad itu sangat bukan Payung Teduh.

Anehnya, lagu ini justru membawa Payung Teduh pada popularitas yang luar biasa. Lebih banyak orang yang mulai mendengar musik mereka, lebih banyak yang nonton konsernya, banyak orang yang mengaku sebagai 'Peneduh', padahal mereka hanya suka lagu Akad. Apa saya suka Payung Teduh jadi jauh lebih terkenal? Sejujurnya tidak.

Tapi, anehnya juga, lagu ini yang akhirnya membuat band favorit saya goyah. Is sudah memastikan keluar dari Payung Teduh. Di luar sana, orang-orang sedih dan kecewa dengan keluarnya Is dari band indie asal Jakarta ini. Tapi, bagi saya pribadi justru ada lebih banyak kelegaan. Saya takut jika Payung Teduh terus seperti ini, maka identitas asli mereka perlahan berubah.

Banyak perdebatan juga yang kemudian muncul. Beberapa orang menyalahkan Is, ada pula yang menyalahkan anggota lainnya. Bahkan topik ini diangkat juga di beberapa media. Hingga menimbulkan perdebatan antar penulis. Saya tidak peduli.

Tanpa mendeskreditkan anggota band lainnya, bagi saya dengan keluarnya Is, Payung Teduh sudah selesai. Meski Is sempat mengatakan di wawancaranya dengan Rolling Stone bahwa masih ada anggota yang mau melanjutkan, menurut saya tidak ada yang pantas menggantikan mereka. Payung Teduh itu beranggotakan Is, Comi, Cito dan Ivan, bukan yang lainnya. Bagi saya jika ganti personil, bukan Payung Teduh lagi namanya.

Bisa jadi, sampai di sini juga kisah saya dan Payung Teduh. Tapi, tidak apa sudah bubar, musik mereka akan tetap saya dengarkan. Terima kasih Payung Teduh atas semua kesedihan dan kebahagian yang kalian salurkan lewat lagu-lagu yang luar biasa. Terima kasih atas semua usaha keras kalian selama ini, termasuk usaha untuk terlihat baik-baik saja di depan kami.

Saya sebenarnya sangat skeptis, tapi semoga album terakhir kalian bisa sukses dan menjadi satu peninggalan terbaik. Ketahuilah bahwa tak ada yang bisa menggantikan kalian.

Payung Teduh (Yogyakarta, 24 Mei 2014)
Tak ada yang benar-benar mengikhlaskan keluarnya Is dari Payung Teduh. Itu juga tidak apa, mungkin inilah yang disebut sisa-sisa keikhlasan yang tak diikhlaskan.

Kita tak semestinya berpijak di antara ragu yang tak berbatas~

-Angs-

Comments